#Cerpen02 Dunia Antah Berantah dalam Kepala






Suatu pagi saat cahaya mentari menerobos kisi-kisi jendela kamar, aku terbangun dengan kepala luar biasa sakit. Separuh nyawaku seperti entah lenyap kemana. Mataku yang sayu setengah mengantuk menatap pada langit biru yang disepuh gumplan-gumpalan awan lembut dibalik kaca jendela. Aku seorang pengangguran. Satu-satunya manusia yang hidup di rumah tua ini yang tak memiliki pekerjaan. Dari ketiga saudaraku hanya aku yang masih menyantap sesuap nasi dari hasil keringat bapak dan ibu.

Hari-hariku terlewati dengan biasa, hambar seperti kekurangan bumbu. Terkadang aku berharap hidupku terlalu pedas, asin, atau pahit. Tak mengapa daripada tak memiliki rasa sama sekali, ini sungguh membosankan. Kalau manis sih tentu itu sangat tidak mungkin bagiku. Dan pagi ini aku mengerang sembari memijit pelipisku. Sungguh sakit kepala seperti ini tidak pernah kurasakan sebelumnya. Seperti ada godam yang menghantam kepalaku ribuan kali. Dengan sedikit limbung aku melangkah keluar kamar berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas air demi menyegarkan tenggorokanku yang kering.

Suasana rumah tua ini selalu ramai saat pagi hari. Kulihat di meja makan keluargaku tengah sibuk menyantap sarapan. Pakaian rapi membungkus tubuh mereka, mulut masing-masing sibuk mengunyah nasi dengan sayur entah apa yang dimasak ibu fajar tadi dengan sedikit terburu. Tak ada percakapan disana, masing-masing sibuk dengan gadget ditangannya. Aku menghela napas panjang, bosan melihat pemandangan yang sama setiap paginya. Entah sudah berapa ribu kali aku bertanya-tanya, mengapa bisa manusia-manusia di rumah ini memiliki kesibukkan dengan gadgetnya? Seketika aku menatap diriku yang juga selalu sibuk dengan gadget tapi tak punya kegiatan apapun, sebatas scroll social media dan membalas pesan basa-basi dari kawan lama.

Oh, mungkin aku lupa bahwa aku seorang pengangguran tak seperti tiga saudaraku. Aku menyeret kursi di sebelah kakak keduaku, meneguk air putih dalam gelas hingga tandas. Semua orang akhirnya selesai menyantap sarapannya dan secara teratur mulai menuju wastafel untuk mencuci piring dan gelas masing-masing. Aku masih duduk di meja makan yang sudah kembali rapi dan sepi. Beberapa menit kemudian satu persatu suara sepeda motor terdengar semakin menjauh meninggalkan rumah tua ini dan aku yang hanya termangu.


Bersambung......

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi-puisi Cinta Yang Entah Untuk Siapa

Sempurna Yang Sesungguhnya Ialah Sederhana

Euthanasia