Dunia Antah Berantah dalam Kepala (2)

Ya, aku selalu menjadi satu-satunya manusia yang ada namun barangkali tak terlihat. Atau mungkin aku ternyata dilahirkan sebagai sampah plastik bening yang transparan. Semua manusia di rumah ini seperti mengabaikanku. Tapi aku selalu berpikir barangkali saat pulang ke rumah mereka sudah teramat lelah untuk mengajakku bicara dan saat pagi hari mereka terlalu sibuk untuk menyiapkan harinya hingga melupakan bahwa aku seharusnya juga menjadi salah satu penghuni meja makan ini.

Tapi peduli setan, aku lebih memilih berjalan ke kamar mandi untuk membasuh muka dan menggosok gigi kemudian sarapan sendirian. Lagi-lagi mataku menerawang keluar jendela. Aku ingin jadi langit, batinku begitu saja. Sepertinya seru jadi langit, setidaknya kamu bukan pengangguran bukan? Kamu bisa menjadi biru indah, kelabu, oranye, atau sebatas hitam. Kamu bisa selalu ada tanpa dilupakan keberadaannya. Untuk kali keskian aku menghela napas berat. Sudah macam orang banyak masalah saja padahal ya hidupku begini-begini saja.

Setalah makan ternyata sakit dikepalaku tak jua reda. Akhirnya kuambil obat pereda sakit kepala kutelan pil putih pahit itu lantas kembali ke kamar untuk merebahkan diri. Tak usah kau bilang kenapa hidupku rebahan terus, kan sudah kuberi tahu bahwa aku pengangguran. Sudah tuli telingaku mendegarnya setiap hari saat semua orang sibuk mengomentari hidupku yang seolah tanpa tujuan.

Hening kali ini membawa kepalaku berkelana jauh. Aku terlahir sebagai anak ketiga dari empat bersaudara. Kakak pertamaku perempuan, kakak keduaku laki-laki, dan adik bungsuku juga laki-laki. Bagiku mereka semua adalah saudara-saudara yang hebat. Bagaimana tidak, Kak Eci saat ini sudah bekerja menjadi seorang stylish, Kak Egy sudah bisa membangun studio sendiri yang katanya banyak digunakan untuk photoshoot orang-orang terkenal, dan Ega adik bungsuku yang bahkan masih kuliah sudah bisa mencari uang sendiri dengan sibuk maggung sana sini bersama bandnya fansnya juga sudah lumayan banyak.

Lalu bagaimana dengan aku? Diam! Kau tahu aku sudah cukup muak dengan pertanyaan-pertanyaan keluarga besarku ketika kami mengadakan gathering. Sekarang kerja dimana? Nggak ikutan kakakmu saja? Pertanyaan-pertanyaan itu terpantul-pantul dalam kepalaku. Dasar sialan! Kalau aku kompeten dalam banyak hal tentu aku tak akan jadi pengangguran seperti sekarang bukan?

Sekarang aku sibuk menatap wajahku dicermin. Wajah yang biasa saja sama sekali tak memikat. Kutatap tanganku yang baru kusadari tak bisa mengerjakan banyak hal seperti saudaraku. Sungguh saat ini aku sendiri saja tak tahu aku ini siapa. Tiap hari yang kutahu, bagaimana orang-orang menghakimi. Awalanya aku tak ingin percaya, persetan dengan perkataan mereka. Tapi semakin lama aku menjadi pengangguran aku mulai berpikir jangan-jangan aku memang seperti yang dikatakan orang-orang.

Kau tahu, aku bukan seorang perempuan penakut. Aku tak takut pada hantu, aku tak takut kegelapan, aku tak takut kesendirian, aku tak takut kedalaman dan ketinggian juga. Tapi entah mengapa ketakutanku ada pada manusia-manusia yang hidup mengelilingiku. Aku benci bagaimana orang-orang memandangku dengan aneh seolah aku adalah alien dari Planet Namex. Aku benci senyum-senyum palsu yang dileparkan mulut-mulut kotor itu, ucapan-ucapan penyemangat saat aku tak bisa apa-apa. Padahal jauh di belakang sana telingaku belum begitu tuli untuk menangkap cemoohan-cemoohan menyakitkan.

Bersambung......

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi-puisi Cinta Yang Entah Untuk Siapa

Sempurna Yang Sesungguhnya Ialah Sederhana

Euthanasia