#Cerpen01 Delivery Order
Memasuki masa-masa lockdown ini aku tidak lagi
melakukan banyak kegiatan. Seharian ini aku hanya rebahan sembari memandangi
layar handphone. Tidak ada pesan penting yang masuk sekadar membuka tutup
aplikasi sosial media yang kumiliki. Perkuliahan online sudah selesai sejak
pukul 12.00 tadi, bapak dosen tidak banyak menjelaskan materi hanya
meninggalkan tugas.
Kuhela napas berat, mataku memandangi langit-langit
kamar indekost. Aku berasal dari luar daerah diluar Pulau Jawa dan berkuliah
disalah satu universitas ternama ibukota. Sejak seminggu lalu kostku sudah
mulai sepi sejak wabah corona menyebar luas dan menghantui Indonesia. Tapi aku
tetap berada di kost berhubung akhir-akhir ini keuangan emak sedikit sulit. Aku
terpaksa tidak pulang kampung karena tak tega meminta uang untuk membeli tiket.
Bayangkan saja, untuk mengirimiku uang bulanan saja emak sedikit kesulitan
karena harus membiayai pengobatkan bapak yang sedang stroke.
Aku pun terpaksa kerja part time disalah satu kios fotokopi
dekat kampus untuk membiayai keperluanku sehari-hari selagi uang kiriman emak
belum sampai. Lumayanlah, bisa fotokopi gratis kalau ada tugas. Wabah covid-19
ini membuat kostku yang biasanya ramai mendadak sepi senyap. Tetangga-tetangga
kamarku rata-rata sudah mudik ke kampung halamannya. Tersisa aku sendirian
bersama pak satpam yang terkantuk-kantuk di pos jaganya. Di dalam kamar aku
terdiam sendirian bertemankan suara kipas angin tua yang
berputar tersendat-sendat.
Masih seperti seminggu lalu, tak ada hal-hal seru yang
bisa kulakukan. Semua kegiatan yang kuikuti sudah berhenti total. Sebagai
seorang yang aktif ini itu, isolasi siri sedikit membuatku stress. Setiap hari
yang kulakukan hanya rebahan, makan, marathon drakor sampai bosan. Entah sampai
sakit punggungku terus berada di atas
kasur seharian. Paling-paling hanya keluar membeli makan sebentar.
Kurenggangkan tubuhku lantas bangkit dari kasur. Aku
berjalan keluar menuju balkon. Jalanan di bawah sana nampak sepi tak seperti
hari-hari sebelumnya. Tak ada lagi angkutan umum dan kendaraan pribadi yang
berseliweran. Saling klakson tidak sabaran, terikan kondektur bus, dan penjaja
makanan. Biasanya aku selalu sebal dengan kebisingan-kebisingan itu. Beberapa
kali aku menelpon emak, mengadu betapa berisiknya kostku sehingga aku tidak
bisa konsentrasi belajar. Lantas berujung minta pindah kost tapi emak selalu
bilang belum ada uang. Tapi sekarang aku merindukan semua itu.
Hari-hari terasa suram dipenuhi kabar-kabar kematian
dan pasien-pasien corona yang angkanya semakin membengkak. Tidak ada yang bisa
kulakukan selain menjaga kesehatan dan berdoa semoga emak dan bapak di kampung
baik-baik saja. Ketika malam tiba, kostan ini menjadi semakin seram dan
membuatku ketakutan. Kudengar beberapa cerita seram soal kostku. Memang sih aku
tidak pernah ambil pusing dengan cerita-cerita itu. Kuanggap sajaorang-orang
hanya ingin menakuti-nakuti. Tapi entah mengapa ketika sedang sendirian aku
jadi teringat semua cerita seram itu.
Malam ini jam di dinding menunjukkan pukul 20.00.
Suasana diluar sudah gelap karena kamar-kamar lain kosong. Sunyi hingga mampu
kudengar detik jam begitu keras. Entah kenapa bulu kudukku tiba-tiba merinding.
Aku mencoba mengalihkan pikiranku agar tidak mengingat cerita-cerita seram yang
sering kudengar. Drtt drtt drrrtt. Aku terlonjak kaget saat hanphoneku
tiba-tiba bergetar. Refleks mulutku
mengucap istighfar. Ternyata ada telepon masuk dari pacarku. Kuhela napas lega.
“ Halo, Viena? Udah makan belum?”
“Halo sayang. Belum nih mau keluar udah gelap, takut.”
“ Ya ampun kenapa nggak bilang sih. Ya udah aku
pesenin makan ya.”
“ Oke makasih sayang. Jaga diri ya.”
“ Kamu juga hati-hati di kost sendiri, sayang.”
Aku sedikit bisa bernapas lega setelah pacarku
menelpon. Kulanjutkan chatting dengan pacarku dan kawan-kawanku untuk menghapus
kesunyian mala mini. Hingga tak beberapa lama terdengar suara ketukan dari luar
pintu kamarku.Tok tok tok. Tok tok tok. Ketukan itu berulang. Aku sedikit heran
karena pesanan makananku datang begitu cepat. Tapi tidak ambil pusing, kubuka
pintu. Seorang bapak dengan jaket hijau dan kaca helm yang tertutup berdiri di
depanku. Tangannya menenteng plastik makanan.
“Ini mbak pesanannya sudah dibayar tadi,” Suara bapak
itu terdengar serak dan sedikit menakutkan.
Kuucapkan terima kasih dan mencoba tetap
berpikir positif, mungkin si bapak sedang sakit tenggorokan. Kubuka bungkus
makanan itu. Tak lupa kukirim pesan pada pacarku mengucapkan terima kasih.
Dengan lahap kumakan bakmi jawa goreng dengan lauk telur mata sapi. Tahu saja
pacarku kalau malam-malam begini aku sedang ingin makan mie. Bakmi goreng ini
terasa lezat di mulutku. Tinggal dua suap lagi. Entah secara tiba-tiba aku
tersedak bakmi yang ada dimulutku. Kutepuk-tepuk belakang leherku hingga bakmi
itu keluar dan kumuntahkan diatas piring. Tapi betapa terkejutnya aku saat yang
keluar bukanlah mie tetapi belatung-belatung putih gemuk. Belatung-belatung itu
menggeliat diatas piring.
Aku berlari ke kamar mandi memuntahkan isi perutku.
Mual meihat belatung-belatung itu. Kepalaku pening. Lantas sejak tadi yang
kumakan itu apa, batinku heran. Meski dengan perasaan jijik kubereskan piring
itu. Aku berjalan keluar kamar untuk membuangnya. Di depan tempat sampah
tiba-tiba bulu kudukku meremang. Ada rasa dingin yang menyergap tengkukku.
Dengan takut-takut kutolehkan kepala. Aku menjerit dengan keras saat disana
kudapati bapak pengantar maknan itu menatapku dengan seringainya dan kepalanya
yang patah meneteskan darah hingga berceceran ke lantai. Hihihhiihi hihiiihhii
hihihihiihhihihiih. Tawanya terus bergema dan aku tidak tahu apa yang terjadi
selanjutnya karena semuanya gelap. Iya aku pingsan.
Esoknya aku terbangun dengan tubuh sakit. Astaga
ternyata aku jatuh dari tempat tidur, untung saja semua itu hanya mimpi. Aku bergegas
ke kamar mandi dan membasuh wajah. Keluar dari kamar mandi kudengar suara
ketukan dipintu. Tok tok tok. Tok tok tok. Ketukan yang berulang dibarengi
suara serak laki-laki, “ Mbak ini pesanannya...” Tiba-tiba bulu kudukku
meremang.
Jadi ini mimpi atau bukan ?
Komentar
Posting Komentar